Sedari tadi ia terus membolak-balik bukunya. Harusnya ia belajar lebih giat, harusnya ia terus membaca, mengerjakan soal, dan mengingat-ingat semuanya, menebus rasa bersalah karena hasil yang diperolehnya hari ini tak cukup baik. Namun, pandangannya justru menerawang. Ia melamun. Bukan melamun ternyata, pikirannya justru sedang penuh dengan hal lain.
Kini ia berpindah posisi, tak lagi duduk tegak dan terpaku di meja belajar. Ia membawa catatannya ke atas tempat tidur. Duduk sambil membaca. Kemudian tengkurap. Lalu, kini ia terlentang. Sebentar-bentar ia berganti posisi, bersandar, tengkurap, terlentang, siklus itu berputar terus. Setelah itu duduknya kembali tegak. Sekalipun tangannya memegang buku, matanya memandang telepon genggam yang ada di atas nakas. Tak salah lagi pikirannya sedang terbang ke masa lalu.
Ia menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya. Sungguh, saat ini dia sedang rindu pada seseorang. Ia lalu mengambil telepon genggam itu. Membaca pesan-pesan yang dulu pernah dikirim oleh seseorang. Seseorang yang diangap sebagai malaikatnya. Kembali ia menghembuskan nafasnya, ia teringat ketika mereka berdua saling menyemangati, saling berlomba menjadi yang terbaik, namun tak lupa mendukung ketika yang lain terpuruk.
Ia ingin dukungan itu ada lagi. Kali ini tak perlu malaikatnya yang datang langsung untuk menyemangatinya, cukup pesan yang mampu membuat kepercayaan dirinya bangkit lagi. Ia memainkan telepon genggamnya sambil berfikir apakah perlu kali ini ia mengirim pesan lagi. Ia kemudian mengurungkan niatnya, meletakkan telepon genggam ke tempatnya semula. Kembali ia menarik nafasnya lagi, kali ini sambil memejamkan mata, kemudian ada doa yang ia ucapkan. Ia berharap semoga malaikatnya ingat untuk menjenguknya sesekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar