Tindakan Paling Benar
Sarita
Fajar Andini XI IPA 3/30
Siang itu, Surabaya seolah terbakar, matahari sedang
bersemangat memancarkan cahayanya. Surabaya yang memang sudah panas bertambah
panas karenanya. Selain pedagang es, mungkin tidak ada orang yang bersemangat
dengan cuaca yang seperti ini. Tapi, mungkin juga tidak. Seorang anak
perempuan, dengan seragam sekolahnya yang sudah lusuh karena seharian
menemaninya beraktifitas berlari-lari kecil. Ia seolah sedang mengejar harta
karun yang dibawa lari sekawanan perompak. Kaki-kaki kecilnya makin cepat
melangkah. Raut wajahnya tidak menunjukkan kelelahan atau kepanasan karena
cuaca hari itu. Kemudian ia berhenti di sebuah warung makan.
“Bu,
saya mau ambil uang kerupuk hari ini sama yang kemarin bu.” Tanpa dikomando, ia
mengutarakan maksud kedatangannya pada si empunya warung.
“Eh,
Sekar. Sebentar ya saya bikinkan pesanan pelanggan dulu. Kamu duduk disitu ya.”
Ibu pemilik warung mempersilahkan Sekar untuk duduk.
Sambil menunggu, Sekar mengamati keadaan warung yang
siang itu cukup ramai pengunjungnya. Bangku plastik yang didudukinya masih sama
seperti setahun yang lalu. Waktu itu ia juga ada di tempat ini, di dalam warung
yang menjual pecel lele itu. Namun, bukan untuk menagih uang kerupuk. Saat itu
ia kesini bersama ayahnya untuk menikmati makanan yang disajikan warung
ini. Saat itu, ketika ayahnya ada,
walaupun kehidupannya tidak mewah, ia
tidak perlu repot menitipkan kerupuk yang digoreng ibunya ke warung-warung.
Jika ayahnya masih ada, mungkin ia juga tidak perlu harus berpura-pura kenyang
tanpa ada asupan makanan ke dalam perutnya. Dan jika ayahnya masih ada,
harusnya ibunya tak usah repot bekerja di beberapa tempat sekaligus. Mata sekar
kemudian memerah, bulir-bulir air mata itu seperti ingin jatuh. Jangan cengeng Sekar! Ia mengutuk
dirinya sendiri, menyadari betapa lemah dirinya. Sebelum matanya bertambah
panas, ibu pemilik warung datang dan memberi uang yang Sekar minta.
“Sekar, ini uangnya. Yang kemarin 20.000 dan hari
ini 10.000.” Ibu itu menyerahkan uang pada Sekar. “Dihitung dulu, Kar.”
pintanya
“Nggak usah, Bu. Saya percaya sama ibu. Besok ibu
mau kerupuk berapa?”
“20 bungkus saja ya, Kar. Soalnya, yang hari
ini masih sisa 7 bungkus.”
“Oke, Bu. Besok saya bawa 20 bungkus kesini. Saya
pamit dulu ya, Bu. Terimakasih.” Sekar kemudian menyalimi tangan pemilik warung
itu.
***
Sebelum sang surya benar-benar
muncul dari ufuk timur, Sekar sudah selesai membungkus semua kerupuk yang sudah
digoreng oleh ibunya semalam. Pagi itu ia begitu bersemangat. Telah
dinantikannya hari ini. Hari dimana semua receh yang dikumpulkannya sudah
menunnjukkan bilangan besar, bilangan yang membuatnya mampu untuk bisa membeli
sebuah sepatu baru menggantikan sepatu lamanya yang harus segera direstorasi.
“Bu, nanti sepulang sekolah antarkan
Sekar ke pasar ya.” rajuk sekar pada ibunya.
“Wah, tabungan sekar sudah cukup
buat beli sepatu ya?” tanya ibunya antusias.
“Sudah dong, Bu. Makanya, nanti sore
antarkan Sekar beli sepatu di pasar ya.”
“Iya, setelah ibu pulang dari rumah
Bu Gandhi, ibu pasti antar kamu.”
“Makasih ya, Bu. Sekar sayaaaaaang
Ibu.” Sekar berlari mendekap ibunya yang masih sibuk menyiapkan sarapan.
***
“Sekar, ayo sudah siap belum?”
“Sudah buu, sudah.” Jawab Sekar lalu
keluar dari kamar dan membawa sebuah kardus bekas. Kemudian, ia mengeluarkan
uang yang baru saja ditukarkannya dari warung pecel lele tadi. “Ini uang Sekar,
bu. Semuanya 96 ribu.” Ia menyerahkan semua uang itu pada ibunya.
Mereka kemudian menunggu angkutan
kota yang akan membawa mereka menuju pasar. Sesaaat sebelum angkutan yang
mereka tunggu datang, Sekar mengarahkan pandangannya pada seorang anak kecil
seusianya yang menggendong seorang bayi sibuk mengais-ngais tempat sampah,
mencari sisa-sisa makanan, dan memakannya dengan lahap. Kerongkongan Sekar
terasa tercekat. Ia begitu pilu melihat pemandangan itu. Walaupun sering
kekurangan makanan, tak pernah sekalipun Sekar atau ibunya memakan makanan yang
berasal daari tempat sampah. Sekar terus memperhatikan apa yang dilakukan anak
itu sampai kemudian angkutan yang ditunggunya datang.
Di jalan Sekar terus memikirkan anak
tadi. Membayangkan bahwa yang sedang mengais-ngais bak sampah itu adalah
dirinya. Membayangkan betapa sedihnya jika ia harus memasukkan sampah ke dalam
perutnya. Hanya untuk menjaga agar perutnya tetap terisi.
Sesampainya di pasar, ia bukannya
menuju lapak pedgang sepatu. Ia malah menuju sebuah kios kue. Ibunya yang
mengikuti dari belakang bingung melihat ulah Sekar, kemudian ia bertanya pada
putrinya itu.
“Kamu lapar, nak?”
“Nggak Bu.”
“Terus kenapa beli kue? Bukannya
kamu mau beli sepatu?”
“Kue-kue ini buat anak yang tadi,
bu. Sekar nggak tega ngelihatnya. Boleh kan, bu?” Sekar seolah meminta
persetujuan ibunya.
“Terserah Sekar aja deh, kan itu
uang Sekar.” Ibunya pun menyetujui rencana putrinya itu. Dalam hati, ibunya
tersenyum bahagia, ia tidak menyangka putri kecilnya begitu peka terhadap
lingkungan sekitarnya.
Setelah melakukan transaksi, mreka
kemudian kembali ke tempat keberangkatan mereka tadi. Berharap anak kecil itu
masih berdiri di tempat yang sama. Dan ternyata harapan Sekar terkabul. Anak
itu masih berdiri di tempat yang sama, masih melakukan kegiatan yang sama pula.
Mengais-ngais tempat sampah dan memakan apapun yang bisa dimakannya. Sekar
kemudian berlari ke arah anak itu. Menyerahkan tas kresek berisi kue-kue yang
telah dibelinya, menyerahkan seluruh tabungannya pada anak itu.
“Apa ini?” seru anak itu kaget
“Ini buat kamu. Buat adik kamu.
Jangan makan sampah lagi, ya. Nggak baik buat kesehatan.” Kemudian Sekar
berlari lagi ke arah ibunya yang menunggunya di seberang jalan.
“Terimakasih ya. Kamu baik sekali.”
Seru anak itu girang, kemudian segera memakan apa yang ada di dalam tas kresek
itu.
“Kamu nggak nyesel kan nggak jadi
beli sepatu?” goda ibunya
“Nggak lah, Bu. Sekar seneng soalnya
bisa nolong orang lain. Sekar nggak tega liat anak itu makan makanan dari
tempat sampah.”
“Bagus deh kalau gitu. Ibu seneng
punya anak baik hati kayak Sekar.” Ibunya kemudian memeluk Sekar dan mengecup
keningnya.
Hari
itu Sekar memang tidak mendapat sepatu. Tabungannya selama sebulan juga sudah
habis untuk membeli kue yang diberikannya pada anak itu. Sepatu sekar memang
telah lama rusak, dan telah lama pula sekar ingin mengganti dengan yang baru.
Namun, Sekar tidak ingin, hanya karena keinginannya membeli sepatu baru membutakan
matanya akan keadaan sekitar. Membutakan matanya tentang betapa beruntungnya
dia selama ini. Sekalipun ia tak mampu membeli sepatu baru, ia tak pernah
mengais-ngais tempat sampah untuk mencari makan. Dan, saat itu juga Sekar
merasa bahagia sekali. Ia merasa tindakan yang dilakukannya ini adalah tindakan
paling benar yang pernah ia lakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar