Jumat, 12 Oktober 2012

remidi

pernah remidi kan?
pernah kan dapet nilai lebih rendah dari nilai minimal yang disediain sekolahmu?
kalau pernah, berarti kamu sama denganku.

Aku pernah remidi. Remidi pertama kali mungkin ketika SMP. Kaget memang awalnya mendapat nilai dibawah 80 (KKM di sekolahku waktu itu) atu mungkin kaget karena dulu di SD nilai berapapun pasti lulus ?  

Kedua duanya mungkin benar. Tapi mungkin juga salah. Entahlah. Yang jelas, jika kamu sudah sering remidi, apakah kamu masih kaget? Kalau iya, berarti kita samaan lagi. Aku sering kaget ketika tiba-tiba hasil ulangan yang perkiraan paling kementusnya adalah aku nggak bakal remidi, eh malah remidi. Sakit hati? Awalnya sih iya. Gimana nggak sakit, ketika ulangan kamu sudah sangat amat yakin dan neges sekali kalau kamu tidak remidi, tapi ketika hasil keluar, keyakinanmu seperti kerupuk yang disiram air. Mengkerut. 

Tapi pada akhirnya kamu pasti sadar kan, kalau kamu over confident, kepedean. Sok yakin bisa padahal nggak. Karena udah yakin bisa, terus kamu nggak berdoa. Dan terus mikir nggak sih, Tuhan benci sama orang-orang yang sombong, right? dan kalau Tuhan benci kamu, darimana kamu bisa dapet nilai bagus?

Jalan terus ke jaman SMA. Tiap habis ulangan terkoordinir, entah itu UHT, UTS, UAS, atau UKK, selalu ada muka-muka kecewa setelah pengumuman keluar. Muka-muka nggak terima kalau kena remidi. Aku sih, termasuk sering berada dalam kerumunan orang-orang berwajah suram itu. Tapi, setelah setahun di SMA, aku baru menikmati momen-momen remidi ini. Suasananya beda. Entah beda dalam hal apa, tapi aku seneng ngelihat anak-anak berkerumun, ngelihat hasil ulangan, ruang remidi, sampai anak-anak yang lari-lari nyariin ruang remidi. Aku jadi mikir, nanti, sewaktu aku kuliah, apa ada muka-muka suram ini? Apa ada kerumunan anak yang berkumpul di bawah pohon rindang atau perpustakaan dan saling berbagi jawaban sebelum remidi dimulai? Kemarin, ketika aku bingung mencari ruang remidi kimia, aku jadi bergumam sendiri "ah, aku pasti akan merindukan masa-masa ini."

Kalau remidi itu sesuatu yang pasti kita jalani, kenapa kita harus protes? Kalau kita kena remidi itu berarti nilai kita nggak cukup, dan itu artinya bisa saja usaha kita yang kurang atau doa kita yang kurang. Kenapa kalau kita remidi kita mencari kambing hitam dengan menyalahkan LJK atau scanner? Kenapa waktu kita kena remidi kita protes, teriak-teriak ke guru, tapi kalo pas nggak remidi kita diam saja, kita merasa LJK dan scannernya baik-baik saja? Padahal, scanner dan LJK nya adalah barang yang sama dengan yang kita pakai sewaktu kita kena remidi. 

Lagi-lagi masalah nilai. Kenapa harus menuntut nilai tinggi jika kita memang tidak mampu memperolehnya? Kenapa kita harus beranggapan bahwa yang nilainya tinggi itu pasti pintar? Kenapa? Kalau memang yang terpenting dari itu proses bukan hasil akhir, kenapa kita dituntut untuk dapat nilai tinggi? Apa kalian yakin jika nilai tinggi itu masa depannya juga bagus? 

Lama-lama aku mblenek. Mblenek sama anak-anak yang protes an kalo kena remidi. Sama mereka yang selalu mencari kambing hitam terhadap kegagalannya. Kalau sukses ada di tanganmu, berarti kegagalan juga berada di tanganmu, kan? Bukan masalah scanner atau LJK. Kalaupun memang scannernya bener-bener rusak, Tuhan pasti bantuin kok. Dan kalau scannernya rusak, harusnya anak-anak yang merasa terdzolimi tadi protes juga pas dia nggak remidi :p

Pokoknya, kalau lagi dapet jatah remidi, daripada usaha nggetu buat nyalahin scanner, mending usaha nggetu biar nggak remidi lagi, iya kan?