Jumat, 15 November 2013

Salah Alamat


Malam kedua puluh sejak pertama kali burung hantu itu datang, ia masih menunggu, berdiri di depan jendela kamarnya yang terbuka, berharap nanti jika burung itu datang, ia tak perlu menabrak jendela yang terbuat dari kayu itu. 

Pesan itu datang pertama kali dua puluh hari yang lalu. Saat ia akan beranjak ke tempat tidurnya, tiba-tiba burung hantu itu datang, seperti di serial Harry Potter favoritnya, burung itu datang untuk menyampaikan pesan. Ia tak tahu, angin apa yang membawa burung itu kemari, biasanya tak pernah ada yang datang selarut ini. Ketika pesan itu dibaca, keterkejutannya bertambah, si pengirim juga bukan orang yang ia bayangkan akan mengirimkan burung hantu selarut itu.

Balas membalas pesan berlanjut. Si burung hantu terus-menerus datang ketempatnya. Ia hafal burung itu akan datang setelah langit benar-benar berubah menjadi gelap.  Pesan yang dikirim selalu sama, tak pernah panjang, namun selalu membuatnya terkesan, singkat tapi melekat. Pesan yang membuatnya tidur dengan senyum mengembang dan terbangun dengan semangat luar biasa.  Walau selalu berfikir kalau pesan itu salah alamat, tak bisa dipungkiri ia selalu menunggu kedatangan pesan-pesan selanjutnya.
Ia jadi mencandu. Setiap malam sebelum tidur, ia selalu berdiri di depan jendela kamarnya. Membiarkannya terbuka, agar ketika burung hantu datang, burung itu tak perlu mematukkan paruhnya ke jendela, agar ia bisa cepat-cepat membalas pesan yang datang.

Lima belas, enam belas, tujuh belas................

Pesan terakhir datang pada malam ke lima belas. Datang tiba-tiba, menghilang juga tiba-tiba. Ia tak berburuk sangka, seperti menjadi ritual, ia tetap menunggu di depan jendela kamarnya yang terbuka. Angin sepoi yang tiap malam terasa makin kencang setia menemani penantiannya. Setiap malam pula berakhir dengan ia yang tertidur meringkuk di depan jendela. Hati kecilnya sadar kalau yang dilakukannya sia-sia, tapi dasar, sifatnya yang keras kepala membuatnya terus berada disitu.

Malam ini, ia bertekad tak lagi tidur meringkuk di depan jendela. Ia tak ingin membuka jendelanya dan membiarkan angin masuk kedalamnya. Ia sadar, bukan salah pengirim yang tak lagi datang, ia yang terlalu berharap pada pesan itu. Ia sadar, dugaannya selama ini benar, pesan itu salah alamat. Kini, saat alamatnya sudah di revisi, surat itu tak pernah muncul.