Jumat, 22 Maret 2013

sekeping #1

****

Ah, tempat ini masih sama seperti dulu. Pohon-pohon disepanjang jalalan utama ini masih sama seperti yang dulu, matahari yang bersinar cerah sepanjang hari, hujan yang sesekali turun dan menciptakan aromanya  ketika ia memercik pada tanah coklat yang lengket, kenangan-kenangannya, aku, kamu, dia. Bodoh! Apa yang sedang aku pikirkan. Tujuh tahun lalu, bukankah aku sendiri yang memutuskan untuk pergi? Tapi mengapa sekarang tiba-tiba aku kembali? 

Aku mengutuk diriku sendiri yang nekat menginjakkan kaki disini. Memang, luka itu baru saja sembuh, namun apa kau bisa menjamin kau tidak akan jatuh lagi? Sebetulnya aku tak takut terluka lagi, hanya saja aku takut pertahananku akan runtuh.

Aku takut kebekuanku akan meleleh ketika melihat pancaran mata mataharimu, atau senyumu yang seperti, ah betul kan, memikirkannya saja membuat benteng pertahananku kehilangan tajinya.

Aku harus fokus. Penyembuh lukaku menungguku di sana.

Tunggu aku Shierly, aku pasti kembali. Aku berjanji.

****

Tindakan Paling Benar

Waktu liburan apa ya, pokoknya liburan, anak sekolah se Surabaya disuruh bikin cerpen. Nah, berhubung aku males bikin, jadi aku bikinnya malem sebelum masuk sekolah. Nggak segitu bagus sih hasilnya..but, enjoy it, fellas!


Tindakan Paling Benar
Sarita Fajar Andini XI IPA 3/30

Siang itu, Surabaya seolah terbakar, matahari sedang bersemangat memancarkan cahayanya. Surabaya yang memang sudah panas bertambah panas karenanya. Selain pedagang es, mungkin tidak ada orang yang bersemangat dengan cuaca yang seperti ini. Tapi, mungkin juga tidak. Seorang anak perempuan, dengan seragam sekolahnya yang sudah lusuh karena seharian menemaninya beraktifitas berlari-lari kecil. Ia seolah sedang mengejar harta karun yang dibawa lari sekawanan perompak. Kaki-kaki kecilnya makin cepat melangkah. Raut wajahnya tidak menunjukkan kelelahan atau kepanasan karena cuaca hari itu. Kemudian ia berhenti di sebuah warung makan.
“Bu, saya mau ambil uang kerupuk hari ini sama yang kemarin bu.” Tanpa dikomando, ia mengutarakan maksud kedatangannya pada si empunya warung.
“Eh, Sekar. Sebentar ya saya bikinkan pesanan pelanggan dulu. Kamu duduk disitu ya.” Ibu pemilik warung mempersilahkan Sekar untuk duduk.
Sambil menunggu, Sekar mengamati keadaan warung yang siang itu cukup ramai pengunjungnya. Bangku plastik yang didudukinya masih sama seperti setahun yang lalu. Waktu itu ia juga ada di tempat ini, di dalam warung yang menjual pecel lele itu. Namun, bukan untuk menagih uang kerupuk. Saat itu ia kesini bersama ayahnya untuk menikmati makanan yang disajikan warung ini.  Saat itu, ketika ayahnya ada, walaupun kehidupannya tidak  mewah, ia tidak perlu repot menitipkan kerupuk yang digoreng ibunya ke warung-warung. Jika ayahnya masih ada, mungkin ia juga tidak perlu harus berpura-pura kenyang tanpa ada asupan makanan ke dalam perutnya. Dan jika ayahnya masih ada, harusnya ibunya tak usah repot bekerja di beberapa tempat sekaligus. Mata sekar kemudian memerah, bulir-bulir air mata itu seperti ingin jatuh. Jangan cengeng Sekar! Ia mengutuk dirinya sendiri, menyadari betapa lemah dirinya. Sebelum matanya bertambah panas, ibu pemilik warung datang dan memberi uang yang Sekar minta.
“Sekar, ini uangnya. Yang kemarin 20.000 dan hari ini 10.000.” Ibu itu menyerahkan uang pada Sekar. “Dihitung dulu, Kar.” pintanya
“Nggak usah, Bu. Saya percaya sama ibu. Besok ibu mau kerupuk berapa?”
“20 bungkus saja ya, Kar. Soalnya, yang hari ini  masih sisa 7 bungkus.”
“Oke, Bu. Besok saya bawa 20 bungkus kesini. Saya pamit dulu ya, Bu. Terimakasih.” Sekar kemudian menyalimi tangan pemilik warung itu.
***
            Sebelum sang surya benar-benar muncul dari ufuk timur, Sekar sudah selesai membungkus semua kerupuk yang sudah digoreng oleh ibunya semalam. Pagi itu ia begitu bersemangat. Telah dinantikannya hari ini. Hari dimana semua receh yang dikumpulkannya sudah menunnjukkan bilangan besar, bilangan yang membuatnya mampu untuk bisa membeli sebuah sepatu baru menggantikan sepatu lamanya yang harus segera direstorasi.
            “Bu, nanti sepulang sekolah antarkan Sekar ke pasar ya.” rajuk sekar pada ibunya.
            “Wah, tabungan sekar sudah cukup buat beli sepatu ya?” tanya ibunya antusias.
            “Sudah dong, Bu. Makanya, nanti sore antarkan Sekar beli sepatu di pasar ya.”
            “Iya, setelah ibu pulang dari rumah Bu Gandhi, ibu pasti antar kamu.”
            “Makasih ya, Bu. Sekar sayaaaaaang Ibu.” Sekar berlari mendekap ibunya yang masih sibuk menyiapkan sarapan.
***
            “Sekar, ayo sudah siap belum?”
            “Sudah buu, sudah.” Jawab Sekar lalu keluar dari kamar dan membawa sebuah kardus bekas. Kemudian, ia mengeluarkan uang yang baru saja ditukarkannya dari warung pecel lele tadi. “Ini uang Sekar, bu. Semuanya 96 ribu.” Ia menyerahkan semua uang itu pada ibunya.
            Mereka kemudian menunggu angkutan kota yang akan membawa mereka menuju pasar. Sesaaat sebelum angkutan yang mereka tunggu datang, Sekar mengarahkan pandangannya pada seorang anak kecil seusianya yang menggendong seorang bayi sibuk mengais-ngais tempat sampah, mencari sisa-sisa makanan, dan memakannya dengan lahap. Kerongkongan Sekar terasa tercekat. Ia begitu pilu melihat pemandangan itu. Walaupun sering kekurangan makanan, tak pernah sekalipun Sekar atau ibunya memakan makanan yang berasal daari tempat sampah. Sekar terus memperhatikan apa yang dilakukan anak itu sampai kemudian angkutan yang ditunggunya datang.
            Di jalan Sekar terus memikirkan anak tadi. Membayangkan bahwa yang sedang mengais-ngais bak sampah itu adalah dirinya. Membayangkan betapa sedihnya jika ia harus memasukkan sampah ke dalam perutnya. Hanya untuk menjaga agar perutnya tetap terisi.
            Sesampainya di pasar, ia bukannya menuju lapak pedgang sepatu. Ia malah menuju sebuah kios kue. Ibunya yang mengikuti dari belakang bingung melihat ulah Sekar, kemudian ia bertanya pada putrinya itu.
            “Kamu lapar, nak?”
            “Nggak Bu.”
            “Terus kenapa beli kue? Bukannya kamu mau beli sepatu?”
            “Kue-kue ini buat anak yang tadi, bu. Sekar nggak tega ngelihatnya. Boleh kan, bu?” Sekar seolah meminta persetujuan ibunya.
            “Terserah Sekar aja deh, kan itu uang Sekar.” Ibunya pun menyetujui rencana putrinya itu. Dalam hati, ibunya tersenyum bahagia, ia tidak menyangka putri kecilnya begitu peka terhadap lingkungan sekitarnya.
            Setelah melakukan transaksi, mreka kemudian kembali ke tempat keberangkatan mereka tadi. Berharap anak kecil itu masih berdiri di tempat yang sama. Dan ternyata harapan Sekar terkabul. Anak itu masih berdiri di tempat yang sama, masih melakukan kegiatan yang sama pula. Mengais-ngais tempat sampah dan memakan apapun yang bisa dimakannya. Sekar kemudian berlari ke arah anak itu. Menyerahkan tas kresek berisi kue-kue yang telah dibelinya, menyerahkan seluruh tabungannya pada anak itu.
            “Apa ini?” seru anak itu kaget
            “Ini buat kamu. Buat adik kamu. Jangan makan sampah lagi, ya. Nggak baik buat kesehatan.” Kemudian Sekar berlari lagi ke arah ibunya yang menunggunya di seberang jalan.
            “Terimakasih ya. Kamu baik sekali.” Seru anak itu girang, kemudian segera memakan apa yang ada di dalam tas kresek itu.
            “Kamu nggak nyesel kan nggak jadi beli sepatu?” goda ibunya
            “Nggak lah, Bu. Sekar seneng soalnya bisa nolong orang lain. Sekar nggak tega liat anak itu makan makanan dari tempat sampah.”
            “Bagus deh kalau gitu. Ibu seneng punya anak baik hati kayak Sekar.” Ibunya kemudian memeluk Sekar dan mengecup keningnya.
            Hari itu Sekar memang tidak mendapat sepatu. Tabungannya selama sebulan juga sudah habis untuk membeli kue yang diberikannya pada anak itu. Sepatu sekar memang telah lama rusak, dan telah lama pula sekar ingin mengganti dengan yang baru. Namun, Sekar tidak ingin, hanya karena keinginannya membeli sepatu baru membutakan matanya akan keadaan sekitar. Membutakan matanya tentang betapa beruntungnya dia selama ini. Sekalipun ia tak mampu membeli sepatu baru, ia tak pernah mengais-ngais tempat sampah untuk mencari makan. Dan, saat itu juga Sekar merasa bahagia sekali. Ia merasa tindakan yang dilakukannya ini adalah tindakan paling benar yang pernah ia lakukan. 

Kamis, 21 Maret 2013

Surat untuk Hujan

Kepada Hujan. . . . 

Aku selalu suka ketika kamu datang. Aku suka ketika langit berubah mendung dan Mentari beranjak menjauh. Itu artinya kamu akan datang, kan? Aku juga suka ketika Petir mulai menjilat-jilatkan cahayanya dan suara Geluduk-entah aku lupa namanya siapa- yang berat itu mulai dibunyikan. Sekalipun aku tak suka keriuhan, asalkan kemudian ada kamu bersamanya, aku pasti akan menyukainya. 

Aku ingat ketika pertama kali kamu menyapaku, bagianmu menyentuh tangkaiku, mencooba memperkenalkan diri. Kamu menceritakan padaku tentang Langit, tentang Matahari, dan semua yang pernah kamu temui. Kamu membagi semuanya, karena tahu, seumur hidupku, aku tak bisa kemana-mana. Aku seakan terhipnotis oleh semua ceritamu. Kemudian, setiap hari kau datang menemuiku, menemaniku seharian, menyuguhkan cerita yang selalu aku tunggu. Setiap hari pula aku ikut tenggelam. Tenggelam dalam sebuah rasa diantara garis batas kagum dan cinta. Aku tahu sebelumnya aku tak pernah punya sahabat, namun seperti katamu, tak perlu jadi orang pandai untuk bisa tahu apa itu cinta. Aku jatuh cinta padamu, Jan.

Maaf kalau perasaan ini menghancurkan persahabatan kita. Aku juga tidak peduli kamu mau membalas perasaan ini atau mengacuhkannya. Aku tidak peduli, Jan. Aku cuma ingin kamu datang lagi kesini. Aku mau dengar semua ceritamu. Aku rela menyibakkan Daun yang menutupi telingaku untuk mendengar ceritamu. Aku akan berbuat apapun asalkan kamu kembali, Jan. 

Angin bilang kamu jatuh cinta pada Bunga, makanya jarang kemari. Apa benar, Jan? Kata Angin lagi, kamu tidak ingin membuat Bungamu layu karena kamu yang terlalu sering datang. Apa itu benar  lagi, Jan? Kalau benar begitu, berarti kamu hebat, Jan. Kamu rela berbuat apapun demi Bunga, kamu bahkan rela nggak ketemu dengannya agar Bunga mu tetap menawan. Padahal yang Bunga mau cuma Mentari, yang dia butuhkan Mentari, bukan kamu Jan, tapi tetap kan, kamu mau berkorban demi dia.

Hujan yang hebat, tapi keras kepala....
Atas nama persahabatan, segera setelah kamu terima surat ini, aku ingin kamu datang kesini menemuiku. Kalau kamu tidak datang, aku jamin, kamu akan menyesal setengah mati. Jangan tanya kenapa. Datang saja segera. Karena kalau kamu benar-benar tidak datang, mungkin kamu akan berkeliling ke seluruh negeri untuk mencariku. Sudah bisa menebak apa yang akan terjadi? Baiklah aku akan mengatakannya sekarang. Sudah ada pelanggan florist ini yang akan membeliku, dan menurut yang aku dengar, aku akan dibawa ke pulau seberang. Hei hei Hujan, jangan sedih! Daripada kamu sedih, cepat datang kemari. Aku ingin memberikan pelukan yang paling hangat, dan Daunku akan menggelitiki seluruh tubuhmu. 

Aku tunggu Jan..

Sahabatmu, 

Pohon