Orang yang nggak punya tujuan itu ibarat naik perahu tapi cuma terombang ambing di tengah-tengah laut
Senin, 30 Desember 2013
Menjadi Anak Kecil
Musim liburan kayak gini, biasanya tiap malem di depan rumah banyak anak kecil lagi main, ngelihat mereka main jadi bener-bener kangen main-main kayak mereka juga.
Menjadi anak kecil itu bisa ketawa lebar, ya karna di dunia anak kecil, mereka nggak perlu susah-susah kepikiran hal-hal semacam cari nilai, cari duit, dan cari-cari lainnya.
Menjadi anak kecil itu nggak butuh pura-puura. Nggak usah berusaha melakukan sesuatu karena pengen dapet cap bagus dari orang lain. Dengan jadi anak kecil, perkara hujan-hujanan cuma pakai pakaian dalam akan jadi hal yang wajar.
Menjadi anak kecil itu menyenangkan............
Jumat, 15 November 2013
Salah Alamat
Malam kedua puluh sejak pertama
kali burung hantu itu datang, ia masih menunggu, berdiri di depan jendela
kamarnya yang terbuka, berharap nanti jika burung itu datang, ia tak perlu
menabrak jendela yang terbuat dari kayu itu.
Pesan itu datang pertama kali dua
puluh hari yang lalu. Saat ia akan beranjak ke tempat tidurnya, tiba-tiba
burung hantu itu datang, seperti di serial Harry Potter favoritnya, burung itu
datang untuk menyampaikan pesan. Ia tak tahu, angin apa yang membawa burung itu
kemari, biasanya tak pernah ada yang datang selarut ini. Ketika pesan itu
dibaca, keterkejutannya bertambah, si pengirim juga bukan orang yang ia
bayangkan akan mengirimkan burung hantu selarut itu.
Balas membalas pesan berlanjut. Si
burung hantu terus-menerus datang ketempatnya. Ia hafal burung itu akan datang
setelah langit benar-benar berubah menjadi gelap. Pesan yang dikirim selalu sama, tak pernah
panjang, namun selalu membuatnya terkesan, singkat tapi melekat. Pesan yang
membuatnya tidur dengan senyum mengembang dan terbangun dengan semangat luar
biasa. Walau selalu berfikir kalau pesan
itu salah alamat, tak bisa dipungkiri ia selalu menunggu kedatangan pesan-pesan
selanjutnya.
Ia jadi mencandu. Setiap malam
sebelum tidur, ia selalu berdiri di depan jendela kamarnya. Membiarkannya
terbuka, agar ketika burung hantu datang, burung itu tak perlu mematukkan
paruhnya ke jendela, agar ia bisa cepat-cepat membalas pesan yang datang.
Lima belas, enam belas, tujuh
belas................
Pesan terakhir datang pada malam
ke lima belas. Datang tiba-tiba, menghilang juga tiba-tiba. Ia tak berburuk
sangka, seperti menjadi ritual, ia tetap menunggu di depan jendela kamarnya
yang terbuka. Angin sepoi yang tiap malam terasa makin kencang setia menemani
penantiannya. Setiap malam pula berakhir dengan ia yang tertidur meringkuk di
depan jendela. Hati kecilnya sadar kalau yang dilakukannya sia-sia, tapi dasar,
sifatnya yang keras kepala membuatnya terus berada disitu.
Malam ini, ia bertekad tak lagi
tidur meringkuk di depan jendela. Ia tak ingin membuka jendelanya dan
membiarkan angin masuk kedalamnya. Ia sadar, bukan salah pengirim yang tak lagi
datang, ia yang terlalu berharap pada pesan itu. Ia sadar, dugaannya selama ini
benar, pesan itu salah alamat. Kini, saat alamatnya sudah di revisi, surat itu
tak pernah muncul.
Minggu, 20 Oktober 2013
Jumat, 06 September 2013
Sekeping #2
Aku tak tahu sejak kapan aku mulai mencandunya. Diawal kedaangannya semuanya biasa saja. Kami memulai perkenalan sewajarnya. Dia siswa baru. Kami berasal dari tempat yang sama. Mungkin hal itu yang membuat kami dekat.
Kemudian, aku tahu alasannya kemari. Dari awal, aku tahu matanya menyembunyikan kepedihan. Dia lari. Dia pergi dari orang-orang yang dia sayangi, sekaligus yang membuatnya jatuh. Sahabat-sahabatnya. Salah satunya adalah gadis yang disayanginya. Berasal dari tempat yang sama membuat kami banyak berbagi cerita. Hingga dia menceritakan tentang orang-orang itu aku masih belum mencandunya.
Namun, membuatnya kembali tersenyum membuatku jatuh padanya. Entah mengapa, niat awalku untuk membantunya malah menjadi bumerang buatku. Padahal aku tahu kami tidak akan pernah bisa lepas dari zona pertemanan ini. Dia masih ingin kembali. Ke tempat asalnya. Kembali pada gadis itu.
Hari ini hal itu menjadi kenyataan. Dia pergi lagi setelah berhasil menata hatinya. Ketika mengantarnya ke bandara aku menangis. Bodoh memang, ketika kamu menyuruh seseorang pergi tapi kamu malah bersedih karenanya.
Dia bilang dia akan kembali. Tapi aku menyangsikan kebenaran dari ucapannya. Percuma saja dia kembali, kan kalau hatinya tidak benar-benar ingin kembali.
Selasa, 03 September 2013
hehehe
Kapan itu nggak sengaja buka blognya Isti. Baca postnya dia tentang guritawan. Sebenernya postnya dia tentang guritawan udah lumayan lama, tapi baru sempet baca. Soalnya biasanya kalo dibuka lewat laptop apa komputer, blognya Isti sering rewel. Yang keluar cuma htmlnya. Jadi, ya otomatis nggak bisa kebaca. Balik lagi ke baca postnya dia ya.
Kebetulan, pas baca itu aku lagi dalam fase yang bener-bener lagi tidak menikmati kegiatan menulis. Aku lagi nggak suka sama tulisan-tulisanku. Nggak ada feelnya, nggak runtut, lompat-lompat, aneh pokoknya. Aku juga lagi pengen menghapus post-post lama di blog ini. Tapi gara-gara Isti salah satunya (selain blog Mbak Ririe dan bukunya Raditya Dika--kapan-kapan aku bakal cerita kenapa) aku nggak jadi menghapus. Nggak nyangka aja kalau post disini dibilang kayak tulisan penulis.
Intinya mau bilang makasih sama dia. Jadi semangat menulis lagi. Jadi semangat ngejar cita-cita dari SD pengen jadi penulis. Heheheheee
oiya, kalau mau baca postnya Isti, kesini aja yaa
Jadi, di situ, dia nulis tentang anak-aak sekelas. Dari mulai Bhisma sampai Viny. Terus nemu yang bagian dia mendeskripsikan aku.
"Andin, Si tukang baca novel ini menurutku juga pendiem sekali. Tulisan artikel di blognya juga kayak penulis-penulis yang biasanya. Kritis nih anak, jangan salah, apapun yang dia pengen tau dia bakal nguber kamu sampe kamu ngasih jawaban yang bener2 buat dia bisa memahami atau masuk di logika dan bisa dicerna. Unik banget, beneran."Jujur, pas baca tulisan ini senyum-senyum sendiri. Selama ini aku ngerasa nggak ada yang merhatiin aku sampai segitunya. Menurutku ini bikin seneng. Bener, tapi menyenangkan. Menyenangkan dalam artian aku habis baca ini langsung semangat. Kok bisa semangat kenpa hayoooo?
Kebetulan, pas baca itu aku lagi dalam fase yang bener-bener lagi tidak menikmati kegiatan menulis. Aku lagi nggak suka sama tulisan-tulisanku. Nggak ada feelnya, nggak runtut, lompat-lompat, aneh pokoknya. Aku juga lagi pengen menghapus post-post lama di blog ini. Tapi gara-gara Isti salah satunya (selain blog Mbak Ririe dan bukunya Raditya Dika--kapan-kapan aku bakal cerita kenapa) aku nggak jadi menghapus. Nggak nyangka aja kalau post disini dibilang kayak tulisan penulis.
Intinya mau bilang makasih sama dia. Jadi semangat menulis lagi. Jadi semangat ngejar cita-cita dari SD pengen jadi penulis. Heheheheee
oiya, kalau mau baca postnya Isti, kesini aja yaa
Senin, 12 Agustus 2013
Indonesia juga Punya
Kali ini aku seneng, soalnya nggak usah jauh-jauh lagi ke luar negeri cuma buat naik bis tingkat. Selama ini kalau cuma bisa liat gambar-gambar bis tingkat yang jadi ikon negara-negara tertentu, sekarang udah bisa liat bis tingkat dengan mata kepala sendiri. Di negeri sendiri pula. Ah bahagianyaaa
Sekarang di Solo ada bis tingkat juga. Namanya bis Werkudara. Sebetulnya bis ini udah ada di Solo sejak 2011, tapi baru kemaren pas lebaran liatnya. Sayang, kemaren belum sempet nyobain naik bis Werkudara. Padahal kepingin banget :(. Moga-moga kalau ke Solo lagi bisa naik bis ini. Amiin...
Buat yang mau tau bis Werkudara kayak gimana, klik ini :
http://surakarta.go.id/konten/bus-tingkat-werkudara
Sekarang di Solo ada bis tingkat juga. Namanya bis Werkudara. Sebetulnya bis ini udah ada di Solo sejak 2011, tapi baru kemaren pas lebaran liatnya. Sayang, kemaren belum sempet nyobain naik bis Werkudara. Padahal kepingin banget :(. Moga-moga kalau ke Solo lagi bisa naik bis ini. Amiin...
Buat yang mau tau bis Werkudara kayak gimana, klik ini :
http://surakarta.go.id/konten/bus-tingkat-werkudara
Ini Bukan Rindu
Aku sering lihat berita di TV tentang gempa bumi. Di sekolah juga ada pelajaran tentang gempa bumi. Dari SD kalau nggak salah udah mulai dikenalin tentang gempa bumi. Kalau dibayangin sih ya ngeri, tapi cuma sekedar ngeri. Ya soalnya alhamdulillah di Surabaya jarang atau bahkan nggak pernah kejadian yang namanya gempa bumi.
Tahun 2005 di Aceh beberapa saat sebelum tsunami datang memang ada gempa. Terus kemudian tsunami yang meluluhlantakan Aceh. Di Jogja juga gitu. Ada gempa besar sebelum gunung merapi meletus.
Kalau cuma denger cerita atau lihat di TV tentang korban-korban gempa, bangunan-bangunan yang rusak, dan segala macemnya itu, kita cuma bisa ah oh ngeri prihatin aja. Tapi buat ngerasain langsung? Pasti udah nggak sempet ngeri. Soalnya udah keburu ribet nyelametin diri.
Libur lebaran ini seperti biasa aku ke rumah Embah dari Bapak di Wonogiri, Jawa Tengah. Kalau yang nggak tau Wonogiri itu mana bisa buka peta. Wonogiri ada di deket Solo. Seperti biasa juga, hari pertama lebaran sholat ied dan lain lainnya, aku sama saudara-saudara jalan-jalan ke tengah kota buat nyari makanan sama ke rumah sepupu yang habis lahiran. Habis itu balik lagi pulang sekitar jam 4 an sore.
Sampai di rumah kita ngobrol-ngobrol biasa di ruang makan. Sampai tiba-tiba sepupuku yang lagi nge cas bb tanya 'ini lindu ya?' aku yang nggak ngerasai apa-apa cuma bisa ha he ho aja nyante. Tiba-tiba om ku teriak 'LINDU! LINDU LINDUU!!!' otomatis semuanya langsung lari keluar. Di luar udah kedengeran tetangga-tetangga pada buyiin kentongan (biasanya kentongan dipakai buat ngasih kabar kematian, kemalingan, atau bencana alam buat nandain berita yang dikabarin berita apa, ada tanda khusus yaitu berapa kali kentongannya dibunyiin). Di luar aku tetep nggak ngerasain apa-apa. Cuma emang agak nge-fly kayak mau jatuh. Tapi aku nggak ngeh kalo gempa kayak gitu rasanya.
Kalau kata omku, gempa itu biasanya cuma imbas dari daerah lain yang kena gempa. Kayak pas waktu gempa Jogja, disitu juga kena gempa, tapi nggak se keras di Jogja. Besoknya, sepupuku tahu kalau gempa kemarin pusatnya di Pacitan. Di Pacitan sendiri juga lumayan gede gempanya, sekitar 5,4 SR.
Sebetulnya, sebelum gempa yang ini, di rumah mbahku juga aku pernah ngerasain gempa. Tepatnya 2 atau 3 tahun lalu. Pas itu gempanya lebih kenceng. Sampai geter-geter atapnya. Pas malem-malem pula. Waktu itu aku lagi tidur, tiba-tiba bapak dan om teriak, terus serumah pada keluar. Tapi, aku ketinggalan, keluarnya belakangan. Waktu itu aku takut banget. Aku takut bakal gempa kayak di Jogja, yang semuanya ambruk. Pas balik mau tidur lagi aku gemeteran, pegangan ibuku. Pokoknya takut banget.
Sepupuku yang kos di Jogja bilang, kalau disana sering gempa. Walaupun kecil-kecil tetep kerasa. Orang-orang yang kayak gini ini yang waspada banget. Ada getaran dikit kerasa. Kemaren juga, dia yang pertama kali kerasa kalau ada gempa. Bukannya berharap sering ngerasain gempa biar bisa waspada, tapi cuma mengambil kesimpulan dari sini bahwa kadang pelajaran tentang gempa dan bencana alam lain nggak bikin kamu ngerti bener. Intinnya banyak-banyakin doa aja sebenernya. Biar siap nggak siap kalau sewaktu-waktu ada bencana, ya tetep harus siap.
Minggu, 28 Juli 2013
Kayak hantu
Kayak ada tapi nggak ada.
Sebenernya ada, nggak dianggep ada.
Bukan nggak dianggep ada, tapi nggak sengaja nggak dianggep.
Intinya, kayak hantu. Ada. Tapi nggak kelihatan. Jadi, dianggepnya nggak ada.
Kayak angin. Bisa dirasain, tapi nggak kelihatan, jadi yaudah.
Ada. Bareng-bareng. Ngapa-ngapain bareng-bareng. Tapi nggak ngerti apa-apa. Dianggepnya kayak tembok.
Ada. Bareng-bareng. Tapi nggak diajak interaksi. Kayak patung.
Kalau misalnya tiba-tiba ngilang, pasti nggak ada pengaruhnya.
Kalau tiba-tiba ngilang pasti yaudah. Kan nggak ketauan kalau ada.
Kalau lagi jalan, pasti yang paling belakang. Soalnya nggak keliatan, jadi ketinggalan.
Sebenernya ada, nggak dianggep ada.
Bukan nggak dianggep ada, tapi nggak sengaja nggak dianggep.
Intinya, kayak hantu. Ada. Tapi nggak kelihatan. Jadi, dianggepnya nggak ada.
Kayak angin. Bisa dirasain, tapi nggak kelihatan, jadi yaudah.
Ada. Bareng-bareng. Ngapa-ngapain bareng-bareng. Tapi nggak ngerti apa-apa. Dianggepnya kayak tembok.
Ada. Bareng-bareng. Tapi nggak diajak interaksi. Kayak patung.
Kalau misalnya tiba-tiba ngilang, pasti nggak ada pengaruhnya.
Kalau tiba-tiba ngilang pasti yaudah. Kan nggak ketauan kalau ada.
Kalau lagi jalan, pasti yang paling belakang. Soalnya nggak keliatan, jadi ketinggalan.
Rabu, 10 Juli 2013
Rabu, 03 Juli 2013
kemudian hening
'dek, punya gelang nggak? mau coba bikin hijab kayak itu'
'hah? nggak mbak'
'oo...ancen cowok kok'
'...................................'
******
'rek, caranya nguntel-nguntel rambut pake anduk kayak gitu gimana se rek? aku kok gabisa'
'tundukin kepalamu terus tinggal di plintir-plintir tok handuknya'
'oo gitu ta..' *nyoba*
'lho gak gitu'
'lho yaapa eh. mrusut terus lhoo'
'pasin di telinga'
'lho lak telinganya ketutupan. gaenak'
'westalah, ntar kan bisa dibenain se pas udah selesai'
'lho he tetep mrusut. benain aja wes'
'duh ndin..ndin.. ancen cowok kok'
'...................................................'
******
segitunya ta rek? ya masa kudu rok-an tiap hari, dandan tiap hari, beli asesoris segudang biar nggak dibilang gitu? sedih.... :-----(
'hah? nggak mbak'
'oo...ancen cowok kok'
'...................................'
******
'rek, caranya nguntel-nguntel rambut pake anduk kayak gitu gimana se rek? aku kok gabisa'
'tundukin kepalamu terus tinggal di plintir-plintir tok handuknya'
'oo gitu ta..' *nyoba*
'lho gak gitu'
'lho yaapa eh. mrusut terus lhoo'
'pasin di telinga'
'lho lak telinganya ketutupan. gaenak'
'westalah, ntar kan bisa dibenain se pas udah selesai'
'lho he tetep mrusut. benain aja wes'
'duh ndin..ndin.. ancen cowok kok'
'...................................................'
******
segitunya ta rek? ya masa kudu rok-an tiap hari, dandan tiap hari, beli asesoris segudang biar nggak dibilang gitu? sedih.... :-----(
Sabtu, 22 Juni 2013
no offense
Sempurna itu relatif ternyata ya...
Bukan sempurna aja sih mungkin. Bagus lebih tepanya menurutku. Jadi, sesuatu dianggap bagus sama seseorang itu relatif.
Mungkin kalau barang yang dianggap bagus sama orang itu relatifnya tergantung selera masing-masing. Tapi kalau masalah bagus di nilai, relatifnya karena apa? Ada yang karena memang orangnya nggak gampang puas, cita-cita mereka sangat tinggi dan membutuhkan nilai yang tinggi, atau tuntutan dari orang tua dan orang-orang sekitar.
Gini, sebetulnya aku nulis ini gara-gara capek aja sama orang-orang yang nilainya menurutku sudah sangaaaaat bagus (ini karena nilaiku memang pas-pasan) tapi dia tetap bersedih gara-gara menurutnya nilainya jelek. Awalnya, reaksiku ketika mengetahui ini ya cuma narik nafas, terus mbatin. Berdoa dalam hati, minta sama Allah SWT buat nuker nilainya sama nilaiku. Biar mereka ngerti gimana rasanya dapet nilai yang pas-pasan. Soalnya ya, ketika mereka mengeluhkan hal-hal seperti itu, apalagi di sosial media, banyak hati yang tersakiti. Akan banyak orang yang akan merasa 'yaampun...nggak ngerti ta yang disini sudah mati-matian tapi nilainya segitu-gitu aja.
Tapi, setelah dipikir-pikir, mungkin nggak sepenuhnua mereka salah. Mungkin mereka adalah orang-orang dengan grade tinggi yang harusnya dengan keluhan mereka yang seperti itu membuat orang-orang yang prestasinya kurang bagus untuk bersemangat dan akhirnya jadi mikir 'yang nilainya lebih bagus dari aku aja masih pengen bagus lagi, aku juga nggak boleh kalah ini berarti'.
Jadi sekali lagi, buat yang merasa nilainya diambang batas kematian, berterima kasihlah pada orang-orang yang tuntutan nilainya tinggi, soalnya dengan gitu kamu jadi malu, dan nggak pengen merasa duuh yang nilai segitu aja masih kurang, yaapa aku. Tapiiii, buat yang nilainya sudah bagus, tapi masih merasa kurang, pliis jangan banyak mengeluh. Karena, sekali lagi, dibalik kelihanmu, banyak tarikannafas dari orang-orang yang jauh dibawahmu. Dan yang paling penting buat yang nilainya diatas atau dibawah, tetap berusaha buat bersyukur dan...tetap semangat!!
Bukan sempurna aja sih mungkin. Bagus lebih tepanya menurutku. Jadi, sesuatu dianggap bagus sama seseorang itu relatif.
Mungkin kalau barang yang dianggap bagus sama orang itu relatifnya tergantung selera masing-masing. Tapi kalau masalah bagus di nilai, relatifnya karena apa? Ada yang karena memang orangnya nggak gampang puas, cita-cita mereka sangat tinggi dan membutuhkan nilai yang tinggi, atau tuntutan dari orang tua dan orang-orang sekitar.
Gini, sebetulnya aku nulis ini gara-gara capek aja sama orang-orang yang nilainya menurutku sudah sangaaaaat bagus (ini karena nilaiku memang pas-pasan) tapi dia tetap bersedih gara-gara menurutnya nilainya jelek. Awalnya, reaksiku ketika mengetahui ini ya cuma narik nafas, terus mbatin. Berdoa dalam hati, minta sama Allah SWT buat nuker nilainya sama nilaiku. Biar mereka ngerti gimana rasanya dapet nilai yang pas-pasan. Soalnya ya, ketika mereka mengeluhkan hal-hal seperti itu, apalagi di sosial media, banyak hati yang tersakiti. Akan banyak orang yang akan merasa 'yaampun...nggak ngerti ta yang disini sudah mati-matian tapi nilainya segitu-gitu aja.
Tapi, setelah dipikir-pikir, mungkin nggak sepenuhnua mereka salah. Mungkin mereka adalah orang-orang dengan grade tinggi yang harusnya dengan keluhan mereka yang seperti itu membuat orang-orang yang prestasinya kurang bagus untuk bersemangat dan akhirnya jadi mikir 'yang nilainya lebih bagus dari aku aja masih pengen bagus lagi, aku juga nggak boleh kalah ini berarti'.
Jadi sekali lagi, buat yang merasa nilainya diambang batas kematian, berterima kasihlah pada orang-orang yang tuntutan nilainya tinggi, soalnya dengan gitu kamu jadi malu, dan nggak pengen merasa duuh yang nilai segitu aja masih kurang, yaapa aku. Tapiiii, buat yang nilainya sudah bagus, tapi masih merasa kurang, pliis jangan banyak mengeluh. Karena, sekali lagi, dibalik kelihanmu, banyak tarikannafas dari orang-orang yang jauh dibawahmu. Dan yang paling penting buat yang nilainya diatas atau dibawah, tetap berusaha buat bersyukur dan...tetap semangat!!
Minggu, 16 Juni 2013
Sebut saja aku bodoh. Katakan saja aku tolol.
Kamu benar, selama ini aku salah.
Ingin rasanya aku berdiri di pinggir tebing, kemudian berteriak sekeras-kerasnya. Tapi kamu tahu, kan aku takut ketinggian. Jadi kuurungkan saja niat itu. Mungkin aku akan menggantinya dengan menaiki rollercoaster atau kora-kora dan kemudian berteriak sejadi-jadinya.
Benar katamu, ada kalanya ketika seseorang mengatakan bahwa dia akan memejamkan matanya setelah kamu terlelap, mengirimkanmu ucapan selamat tidur, atau membuatmu melengkungkan senyum dengan pesan-pesannya sebetulnya tidak benar-benar berniat membuatmu tersenyum. Kamu yang harus tahu diri. Begitu kan?
Harusnya aku begitu. Aku harus tahu diri. Seandainya saja waktu itu aku punya pegangan, pasti aku tidak akan melayang terlalu jauh seperti ini.
Mungkin kamu benar, aku harus cepat-cepat cari pijakan. Cepat-cepat turun sebelum jatuh dari tempat yang sudah terlalu tinggi.
Baiklah aku menurut. Aku sudah turun, aku sudah menemukan tanah untuk berpijak. Walaupun lukaku banyak, tapi kamu senang kan setidaknya aku tidak terluka parah?
Sekarang kemarilah, aku ingin bertanya padamu 'Apakah salah jika kita terlalu mengharapkan sesuatu dari seseorang?'
Kamu benar, selama ini aku salah.
Ingin rasanya aku berdiri di pinggir tebing, kemudian berteriak sekeras-kerasnya. Tapi kamu tahu, kan aku takut ketinggian. Jadi kuurungkan saja niat itu. Mungkin aku akan menggantinya dengan menaiki rollercoaster atau kora-kora dan kemudian berteriak sejadi-jadinya.
Benar katamu, ada kalanya ketika seseorang mengatakan bahwa dia akan memejamkan matanya setelah kamu terlelap, mengirimkanmu ucapan selamat tidur, atau membuatmu melengkungkan senyum dengan pesan-pesannya sebetulnya tidak benar-benar berniat membuatmu tersenyum. Kamu yang harus tahu diri. Begitu kan?
Harusnya aku begitu. Aku harus tahu diri. Seandainya saja waktu itu aku punya pegangan, pasti aku tidak akan melayang terlalu jauh seperti ini.
Mungkin kamu benar, aku harus cepat-cepat cari pijakan. Cepat-cepat turun sebelum jatuh dari tempat yang sudah terlalu tinggi.
Baiklah aku menurut. Aku sudah turun, aku sudah menemukan tanah untuk berpijak. Walaupun lukaku banyak, tapi kamu senang kan setidaknya aku tidak terluka parah?
Sekarang kemarilah, aku ingin bertanya padamu 'Apakah salah jika kita terlalu mengharapkan sesuatu dari seseorang?'
Jumat, 14 Juni 2013
(Sweet) Seventeen ?
Kata orang sih, 17 tahun itu spesial. Tapi, ku nggak tau apa spesialnya angka 17. Kata mereka lagi soalnya 17 tahun itu cuma sekali seumur hidup. Tapi menurutku setiap tahun ya cuma sekali seumur hidup. Kata mereka lagi sih 17 tahun itu dimana kita sudah dianggep dewasa. Menurutku lagi sih, nggak semua yang 17 tahun itu tepat untuk dikasih kepercayaan menyandang status dewasa :))))
Jadi intinya, 17 tahun itu ya biasa aja kok. Kamu nggak perlu minta pesta mewah di balroom gede yang undangannya orang sekampung. Yang kamu perluin cuma orang-orang yang tulus sayang sama kamu yang mau ngelewatin hari ulang tahunmu bareng-bareng. Orang yang tulus ngasih doanya biar kamu bisa lebih baik. Karena, orang-orang itu, sekalipun kamu nggak pernah minta, bisa aja ngasih kamu kejutan-kejutan kecil yang justru itu bisa ikin kamu merasa.....berarti :")))))))
bersama cewe cewe canteq |
wohooo terimakasiih :"") |
mbar elek |
Kemudian, kejutannya lagi adalah ketika, kakak laki-lakimu yang sangat tidak so sweet dan tidak pernah mengucapkan ucapan ulang tahun secara panjaang, mengechatmu dengan doanya yang so sweet. Kemudian adikmu tiba-tiba pulang telat sehabis les, dan ternyata itu karena membelikanmu hadiah.... :''')))))))))))))))
Terimakasih untuk semua doa dan perhatiannya. Maaf tidak bisa membalasnya..... Maaf untuk postingannya yang telat.... Andin sayang kaliaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan
Andin, 17 tahun lebih 2 bulan lebih 11 hari
Rabu, 12 Juni 2013
Sebentar Lagi ...
Jadi ceritnya lagi iseng pake laptop Mas, terus pas buka-buka folder, nemu foto-foto lebaran tahun 2011. Sempet tarik nafas, terus mikir cepet banget udah mau ramadhan lagi...rasanya baru kemaren. Tapi jujur, nulan Ramadhan emang paling paling ditunggu-tunggu. Nggak ngerti kenapa, aku suka sama suasana ramadhan. Sahur bareng, buka bareng, ngabuburit. Semua muanya. Habis itu lebaran.. Senang senaaaaaang sekaliii...............Bisa mudik.. Sungkem sama mbah, kumpul sama saudara-saudara......
Niatnya sebenernya nulis post ini cuma mau share foto takbiran di desa sih....
Niatnya sebenernya nulis post ini cuma mau share foto takbiran di desa sih....
lucunyaaa :# |
ngapain dek? |
bawa obor |
berjalan beriringan |
Jadi cara mereka takbiran sih sebenernya nggak jauh beda sama di sini. Sama kayak kita, mereka jalan berkelompok gitu bawa obor dan mengumandangkan takbir tentunya. Tapi mungkin di desa lebih sepi sedikit menurutku. Mungkin karena pas itu lebarannya nggak bareng, jadinya pada nggak serempak juga takbirannya, terus tau sendiri kan di desa itu penduduknya juga nggak gitu banyak, jadi kalau beda-beda gitu, makin gk kedengeran pula takbirannya karena mereka sendiri-sendiri.
oiyaaa... yang beda itu juga mereka jalan dibelakang pickup yg ngangkut bedug, terus pick upnya dihias, dikasih rumah-rumahan gitu.. Jadi lucuuu!!! Tapi jarak jalannya mereka jauuuuh banget. Jadi mereka jalan dari desa asalnya terus keliling teruuuus sampe notok ga ngerti sampe mana,terus balik lagi......
Kalau ngelihat orang takbiran, jadi inget dulu pas SD pernah ikut takbiran di masjid deket rumah, bareng-bareng temen se TPA. Biarpun jalan jauh, seneng soalnya bareng-bareng. Habis itu dapet jajan pula :DD
Jumat, 24 Mei 2013
Don't Judge a Book by It's Cover
Don't Judge a Book by It's Cover
Pernah dengar ungkapan itu? Kalau pernah dengar, pasti pernah mikir tepat nggak nya ungkapan itu di kehidupan kita sehari-hari. Seperti kata ungkapan itu, yang kurang lebih kalau dimasukkin ke otak artinya adalah jangan ngelihat sesuatu dari luarnya aja. Dari situ, kita pasti merasa kalau ungkapan itu memang bener, tapi kadang-kadang merasa juga kalau ungkapan itu ada nggak benernya....
Gini, analogikan aja ungkapan itu sama kejadian ketemu orang baru. Kadang-kadang kita udah ngasih cap ke seseorang apakah orang itu baik, judes, annoying, dan macem-macemnya, padahal kita baru pertama kali ketemu sama orang itu. Kenapa cap-cap tadi bisa muncul?
Menurutku sih, kata kuncinya ada di penampilan orang itu. Istilahnya sih first impression, gimana cara dia meng-cover dirinya yang sebenarnya di hadapan orang lain, sehingga yang pertama kali keliatan ya cover luarnya. Kalau cap yang kita kasih ke orang itu baik dan aslinya orang itu memang baik ya nggak papa, tapi kalau yang terjadi sebaliknya?
Nah, disini nggak bisa dipungkiri kan kalau nggak selamanya ungkapan don't judge a book by it's cover itu bener. Jadi, menurutku agak fake ya kalau ada yang bilang penampilan itu nggak penting. Karena pada dasarnya ya sebelum kamu kenal sama seseorang, kamu bakal nunjukin siapa diri kamu ya lewat covermu itu tadi. Kalau cover mu nggak bagus, ya orang bakal male buat kenal lebih deket sama kamu.
Kesannya jahat, ya? Tapi ya itu kenyataannya. Memang sih, nggak semua orang gitu, tapi lebih banyak yang gitu daripada nggak. Jadi, kalau ada cowok atau cewek pas cari pacar ada yang bilang kalau fisik itu nggak penting, menurutku fake ya, soalnya ya balik lagi ke kenyataannya, ketika dia dikenalkan ke dua orang dimana satunya punya cover yang lebih bagus dari yang lain, pasti dia bakal milih yang covernya lebih bagus.
Pernah dengar ungkapan itu? Kalau pernah dengar, pasti pernah mikir tepat nggak nya ungkapan itu di kehidupan kita sehari-hari. Seperti kata ungkapan itu, yang kurang lebih kalau dimasukkin ke otak artinya adalah jangan ngelihat sesuatu dari luarnya aja. Dari situ, kita pasti merasa kalau ungkapan itu memang bener, tapi kadang-kadang merasa juga kalau ungkapan itu ada nggak benernya....
Gini, analogikan aja ungkapan itu sama kejadian ketemu orang baru. Kadang-kadang kita udah ngasih cap ke seseorang apakah orang itu baik, judes, annoying, dan macem-macemnya, padahal kita baru pertama kali ketemu sama orang itu. Kenapa cap-cap tadi bisa muncul?
Menurutku sih, kata kuncinya ada di penampilan orang itu. Istilahnya sih first impression, gimana cara dia meng-cover dirinya yang sebenarnya di hadapan orang lain, sehingga yang pertama kali keliatan ya cover luarnya. Kalau cap yang kita kasih ke orang itu baik dan aslinya orang itu memang baik ya nggak papa, tapi kalau yang terjadi sebaliknya?
Nah, disini nggak bisa dipungkiri kan kalau nggak selamanya ungkapan don't judge a book by it's cover itu bener. Jadi, menurutku agak fake ya kalau ada yang bilang penampilan itu nggak penting. Karena pada dasarnya ya sebelum kamu kenal sama seseorang, kamu bakal nunjukin siapa diri kamu ya lewat covermu itu tadi. Kalau cover mu nggak bagus, ya orang bakal male buat kenal lebih deket sama kamu.
Kesannya jahat, ya? Tapi ya itu kenyataannya. Memang sih, nggak semua orang gitu, tapi lebih banyak yang gitu daripada nggak. Jadi, kalau ada cowok atau cewek pas cari pacar ada yang bilang kalau fisik itu nggak penting, menurutku fake ya, soalnya ya balik lagi ke kenyataannya, ketika dia dikenalkan ke dua orang dimana satunya punya cover yang lebih bagus dari yang lain, pasti dia bakal milih yang covernya lebih bagus.
Minggu, 12 Mei 2013
Belajar Corel Draw
Hasil belajar dari Nea + ngikutin tutorial di internet.
ini foto aslinya. Agak nggak mirip sebenernya hehehe .__.v
Bikinnya 3 jam-an kurang lebih, tapi gara-gara ini jadi ketagihan bikin lagi. Susaaaah banget sebenernya, tapi asik!!! cobain deeh!!!
Senin, 15 April 2013
Kemungkinan
Bagaimana jika jalan di depan buntu? Bagaimana jika tak ada kesempatan buatku untuk berputar? Bagaimana jika ketika aku kembali semua sudah tak sama lagi? Bagaimana jika............. ah masa bodoh dengan bagaimana.
Mengapa selalu memikirkan kemungkinan jika tanpa memikirkannya pun kemungkinan itu selalu muncul?Mengapa harus takut pada kemungkinan padahal kamu tahu jika terus takut kamu tak akan melangkah?
Seperti menonton Deddy Corbuzier bermain sulap, kemungkinan selalu mengeluarkan kejutan. Bukankah manusia suka kejutan? Kejutan akan terasa menyenangkan jika apa yang muncul di dalamnya sesuai dengan ekspektasi si penerima.
Kemungkinan juga begitu. Manusia akan merasa senang jika kemungkinan yang di dapatnya sesuai dengan apa yang diharapkannya. Tapi sekali lagi, jika hanya memikirkan kemungkinan tanpa mau bergerak, apa mungkin kemungkinan yang diinginkan muncul? Bukankah sebaiknya kita bergerak untuk menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang kita harapkan?
Doraemon
Kamu tahu, aku selalu membayangkan memiliki doraemon. Bukan untuk memintanya mengeluarkan alat yang bisa membuatku kurus seketika atau untuk melawan teman yang suka membully seperti Giant. Aku berharap Doraemon bisa membantuku meminjamkan baling-baling bambunya padaku. Agar aku bisa terbang dan pergi kemana saja. Tanpa perlu bingung mau naik apa atau diantar siapa.
Selain baling-baling bambu, aku berharap dia mau mengeluarkan pintu kemana saja miliknya. Aku ingin pergi ke belahan bumi manapun tanpa perlu mengeluarkan biaya. Hanya tinggal melewati pintu merah jambu itu, aku sudah bisa berada di dimensi ruang yang lain.
Namun sayangnya Doraemon hanya ada di kartun minggu pagi dan di lembaran komik yang aku baca. Doraemon hanya mahluk khayal ciptaan Fujiko Fujio yang hidup pada abad ke 22. Aku tetap harus tergantung pada bemo, taksi, dan Bapak yang mengantarku kemana-mana. Terlalu sayangnya Bapak padaku membuatku hanya bisa menjadi penumpang yang menebeng kemana-mana.
Ah, seandainya Doraemon benar-benar ada..........
Selain baling-baling bambu, aku berharap dia mau mengeluarkan pintu kemana saja miliknya. Aku ingin pergi ke belahan bumi manapun tanpa perlu mengeluarkan biaya. Hanya tinggal melewati pintu merah jambu itu, aku sudah bisa berada di dimensi ruang yang lain.
Namun sayangnya Doraemon hanya ada di kartun minggu pagi dan di lembaran komik yang aku baca. Doraemon hanya mahluk khayal ciptaan Fujiko Fujio yang hidup pada abad ke 22. Aku tetap harus tergantung pada bemo, taksi, dan Bapak yang mengantarku kemana-mana. Terlalu sayangnya Bapak padaku membuatku hanya bisa menjadi penumpang yang menebeng kemana-mana.
Ah, seandainya Doraemon benar-benar ada..........
Jumat, 12 April 2013
Sempurna
"Sempurna itu punya Tuhan. Kita manusia cuma harus lebih sering bersyukur biar ngerasa cukup dan sempurna."
Jumat, 22 Maret 2013
sekeping #1
****
Ah, tempat ini masih sama seperti dulu. Pohon-pohon disepanjang jalalan utama ini masih sama seperti yang dulu, matahari yang bersinar cerah sepanjang hari, hujan yang sesekali turun dan menciptakan aromanya ketika ia memercik pada tanah coklat yang lengket, kenangan-kenangannya, aku, kamu, dia. Bodoh! Apa yang sedang aku pikirkan. Tujuh tahun lalu, bukankah aku sendiri yang memutuskan untuk pergi? Tapi mengapa sekarang tiba-tiba aku kembali?
Aku mengutuk diriku sendiri yang nekat menginjakkan kaki disini. Memang, luka itu baru saja sembuh, namun apa kau bisa menjamin kau tidak akan jatuh lagi? Sebetulnya aku tak takut terluka lagi, hanya saja aku takut pertahananku akan runtuh.
Aku takut kebekuanku akan meleleh ketika melihat pancaran mata mataharimu, atau senyumu yang seperti, ah betul kan, memikirkannya saja membuat benteng pertahananku kehilangan tajinya.
Aku harus fokus. Penyembuh lukaku menungguku di sana.
Aku takut kebekuanku akan meleleh ketika melihat pancaran mata mataharimu, atau senyumu yang seperti, ah betul kan, memikirkannya saja membuat benteng pertahananku kehilangan tajinya.
Aku harus fokus. Penyembuh lukaku menungguku di sana.
Tunggu aku Shierly, aku pasti kembali. Aku berjanji.
****
Tindakan Paling Benar
Waktu liburan apa ya, pokoknya liburan, anak sekolah se Surabaya disuruh bikin cerpen. Nah, berhubung aku males bikin, jadi aku bikinnya malem sebelum masuk sekolah. Nggak segitu bagus sih hasilnya..but, enjoy it, fellas!
Tindakan Paling Benar
Sarita
Fajar Andini XI IPA 3/30
Siang itu, Surabaya seolah terbakar, matahari sedang
bersemangat memancarkan cahayanya. Surabaya yang memang sudah panas bertambah
panas karenanya. Selain pedagang es, mungkin tidak ada orang yang bersemangat
dengan cuaca yang seperti ini. Tapi, mungkin juga tidak. Seorang anak
perempuan, dengan seragam sekolahnya yang sudah lusuh karena seharian
menemaninya beraktifitas berlari-lari kecil. Ia seolah sedang mengejar harta
karun yang dibawa lari sekawanan perompak. Kaki-kaki kecilnya makin cepat
melangkah. Raut wajahnya tidak menunjukkan kelelahan atau kepanasan karena
cuaca hari itu. Kemudian ia berhenti di sebuah warung makan.
“Bu,
saya mau ambil uang kerupuk hari ini sama yang kemarin bu.” Tanpa dikomando, ia
mengutarakan maksud kedatangannya pada si empunya warung.
“Eh,
Sekar. Sebentar ya saya bikinkan pesanan pelanggan dulu. Kamu duduk disitu ya.”
Ibu pemilik warung mempersilahkan Sekar untuk duduk.
Sambil menunggu, Sekar mengamati keadaan warung yang
siang itu cukup ramai pengunjungnya. Bangku plastik yang didudukinya masih sama
seperti setahun yang lalu. Waktu itu ia juga ada di tempat ini, di dalam warung
yang menjual pecel lele itu. Namun, bukan untuk menagih uang kerupuk. Saat itu
ia kesini bersama ayahnya untuk menikmati makanan yang disajikan warung
ini. Saat itu, ketika ayahnya ada,
walaupun kehidupannya tidak mewah, ia
tidak perlu repot menitipkan kerupuk yang digoreng ibunya ke warung-warung.
Jika ayahnya masih ada, mungkin ia juga tidak perlu harus berpura-pura kenyang
tanpa ada asupan makanan ke dalam perutnya. Dan jika ayahnya masih ada,
harusnya ibunya tak usah repot bekerja di beberapa tempat sekaligus. Mata sekar
kemudian memerah, bulir-bulir air mata itu seperti ingin jatuh. Jangan cengeng Sekar! Ia mengutuk
dirinya sendiri, menyadari betapa lemah dirinya. Sebelum matanya bertambah
panas, ibu pemilik warung datang dan memberi uang yang Sekar minta.
“Sekar, ini uangnya. Yang kemarin 20.000 dan hari
ini 10.000.” Ibu itu menyerahkan uang pada Sekar. “Dihitung dulu, Kar.”
pintanya
“Nggak usah, Bu. Saya percaya sama ibu. Besok ibu
mau kerupuk berapa?”
“20 bungkus saja ya, Kar. Soalnya, yang hari
ini masih sisa 7 bungkus.”
“Oke, Bu. Besok saya bawa 20 bungkus kesini. Saya
pamit dulu ya, Bu. Terimakasih.” Sekar kemudian menyalimi tangan pemilik warung
itu.
***
Sebelum sang surya benar-benar
muncul dari ufuk timur, Sekar sudah selesai membungkus semua kerupuk yang sudah
digoreng oleh ibunya semalam. Pagi itu ia begitu bersemangat. Telah
dinantikannya hari ini. Hari dimana semua receh yang dikumpulkannya sudah
menunnjukkan bilangan besar, bilangan yang membuatnya mampu untuk bisa membeli
sebuah sepatu baru menggantikan sepatu lamanya yang harus segera direstorasi.
“Bu, nanti sepulang sekolah antarkan
Sekar ke pasar ya.” rajuk sekar pada ibunya.
“Wah, tabungan sekar sudah cukup
buat beli sepatu ya?” tanya ibunya antusias.
“Sudah dong, Bu. Makanya, nanti sore
antarkan Sekar beli sepatu di pasar ya.”
“Iya, setelah ibu pulang dari rumah
Bu Gandhi, ibu pasti antar kamu.”
“Makasih ya, Bu. Sekar sayaaaaaang
Ibu.” Sekar berlari mendekap ibunya yang masih sibuk menyiapkan sarapan.
***
“Sekar, ayo sudah siap belum?”
“Sudah buu, sudah.” Jawab Sekar lalu
keluar dari kamar dan membawa sebuah kardus bekas. Kemudian, ia mengeluarkan
uang yang baru saja ditukarkannya dari warung pecel lele tadi. “Ini uang Sekar,
bu. Semuanya 96 ribu.” Ia menyerahkan semua uang itu pada ibunya.
Mereka kemudian menunggu angkutan
kota yang akan membawa mereka menuju pasar. Sesaaat sebelum angkutan yang
mereka tunggu datang, Sekar mengarahkan pandangannya pada seorang anak kecil
seusianya yang menggendong seorang bayi sibuk mengais-ngais tempat sampah,
mencari sisa-sisa makanan, dan memakannya dengan lahap. Kerongkongan Sekar
terasa tercekat. Ia begitu pilu melihat pemandangan itu. Walaupun sering
kekurangan makanan, tak pernah sekalipun Sekar atau ibunya memakan makanan yang
berasal daari tempat sampah. Sekar terus memperhatikan apa yang dilakukan anak
itu sampai kemudian angkutan yang ditunggunya datang.
Di jalan Sekar terus memikirkan anak
tadi. Membayangkan bahwa yang sedang mengais-ngais bak sampah itu adalah
dirinya. Membayangkan betapa sedihnya jika ia harus memasukkan sampah ke dalam
perutnya. Hanya untuk menjaga agar perutnya tetap terisi.
Sesampainya di pasar, ia bukannya
menuju lapak pedgang sepatu. Ia malah menuju sebuah kios kue. Ibunya yang
mengikuti dari belakang bingung melihat ulah Sekar, kemudian ia bertanya pada
putrinya itu.
“Kamu lapar, nak?”
“Nggak Bu.”
“Terus kenapa beli kue? Bukannya
kamu mau beli sepatu?”
“Kue-kue ini buat anak yang tadi,
bu. Sekar nggak tega ngelihatnya. Boleh kan, bu?” Sekar seolah meminta
persetujuan ibunya.
“Terserah Sekar aja deh, kan itu
uang Sekar.” Ibunya pun menyetujui rencana putrinya itu. Dalam hati, ibunya
tersenyum bahagia, ia tidak menyangka putri kecilnya begitu peka terhadap
lingkungan sekitarnya.
Setelah melakukan transaksi, mreka
kemudian kembali ke tempat keberangkatan mereka tadi. Berharap anak kecil itu
masih berdiri di tempat yang sama. Dan ternyata harapan Sekar terkabul. Anak
itu masih berdiri di tempat yang sama, masih melakukan kegiatan yang sama pula.
Mengais-ngais tempat sampah dan memakan apapun yang bisa dimakannya. Sekar
kemudian berlari ke arah anak itu. Menyerahkan tas kresek berisi kue-kue yang
telah dibelinya, menyerahkan seluruh tabungannya pada anak itu.
“Apa ini?” seru anak itu kaget
“Ini buat kamu. Buat adik kamu.
Jangan makan sampah lagi, ya. Nggak baik buat kesehatan.” Kemudian Sekar
berlari lagi ke arah ibunya yang menunggunya di seberang jalan.
“Terimakasih ya. Kamu baik sekali.”
Seru anak itu girang, kemudian segera memakan apa yang ada di dalam tas kresek
itu.
“Kamu nggak nyesel kan nggak jadi
beli sepatu?” goda ibunya
“Nggak lah, Bu. Sekar seneng soalnya
bisa nolong orang lain. Sekar nggak tega liat anak itu makan makanan dari
tempat sampah.”
“Bagus deh kalau gitu. Ibu seneng
punya anak baik hati kayak Sekar.” Ibunya kemudian memeluk Sekar dan mengecup
keningnya.
Hari
itu Sekar memang tidak mendapat sepatu. Tabungannya selama sebulan juga sudah
habis untuk membeli kue yang diberikannya pada anak itu. Sepatu sekar memang
telah lama rusak, dan telah lama pula sekar ingin mengganti dengan yang baru.
Namun, Sekar tidak ingin, hanya karena keinginannya membeli sepatu baru membutakan
matanya akan keadaan sekitar. Membutakan matanya tentang betapa beruntungnya
dia selama ini. Sekalipun ia tak mampu membeli sepatu baru, ia tak pernah
mengais-ngais tempat sampah untuk mencari makan. Dan, saat itu juga Sekar
merasa bahagia sekali. Ia merasa tindakan yang dilakukannya ini adalah tindakan
paling benar yang pernah ia lakukan.
Kamis, 21 Maret 2013
Surat untuk Hujan
Kepada Hujan. . . .
Aku selalu suka ketika kamu datang. Aku suka ketika langit berubah mendung dan Mentari beranjak menjauh. Itu artinya kamu akan datang, kan? Aku juga suka ketika Petir mulai menjilat-jilatkan cahayanya dan suara Geluduk-entah aku lupa namanya siapa- yang berat itu mulai dibunyikan. Sekalipun aku tak suka keriuhan, asalkan kemudian ada kamu bersamanya, aku pasti akan menyukainya.
Aku ingat ketika pertama kali kamu menyapaku, bagianmu menyentuh tangkaiku, mencooba memperkenalkan diri. Kamu menceritakan padaku tentang Langit, tentang Matahari, dan semua yang pernah kamu temui. Kamu membagi semuanya, karena tahu, seumur hidupku, aku tak bisa kemana-mana. Aku seakan terhipnotis oleh semua ceritamu. Kemudian, setiap hari kau datang menemuiku, menemaniku seharian, menyuguhkan cerita yang selalu aku tunggu. Setiap hari pula aku ikut tenggelam. Tenggelam dalam sebuah rasa diantara garis batas kagum dan cinta. Aku tahu sebelumnya aku tak pernah punya sahabat, namun seperti katamu, tak perlu jadi orang pandai untuk bisa tahu apa itu cinta. Aku jatuh cinta padamu, Jan.
Maaf kalau perasaan ini menghancurkan persahabatan kita. Aku juga tidak peduli kamu mau membalas perasaan ini atau mengacuhkannya. Aku tidak peduli, Jan. Aku cuma ingin kamu datang lagi kesini. Aku mau dengar semua ceritamu. Aku rela menyibakkan Daun yang menutupi telingaku untuk mendengar ceritamu. Aku akan berbuat apapun asalkan kamu kembali, Jan.
Angin bilang kamu jatuh cinta pada Bunga, makanya jarang kemari. Apa benar, Jan? Kata Angin lagi, kamu tidak ingin membuat Bungamu layu karena kamu yang terlalu sering datang. Apa itu benar lagi, Jan? Kalau benar begitu, berarti kamu hebat, Jan. Kamu rela berbuat apapun demi Bunga, kamu bahkan rela nggak ketemu dengannya agar Bunga mu tetap menawan. Padahal yang Bunga mau cuma Mentari, yang dia butuhkan Mentari, bukan kamu Jan, tapi tetap kan, kamu mau berkorban demi dia.
Hujan yang hebat, tapi keras kepala....
Atas nama persahabatan, segera setelah kamu terima surat ini, aku ingin kamu datang kesini menemuiku. Kalau kamu tidak datang, aku jamin, kamu akan menyesal setengah mati. Jangan tanya kenapa. Datang saja segera. Karena kalau kamu benar-benar tidak datang, mungkin kamu akan berkeliling ke seluruh negeri untuk mencariku. Sudah bisa menebak apa yang akan terjadi? Baiklah aku akan mengatakannya sekarang. Sudah ada pelanggan florist ini yang akan membeliku, dan menurut yang aku dengar, aku akan dibawa ke pulau seberang. Hei hei Hujan, jangan sedih! Daripada kamu sedih, cepat datang kemari. Aku ingin memberikan pelukan yang paling hangat, dan Daunku akan menggelitiki seluruh tubuhmu.
Aku tunggu Jan..
Sahabatmu,
Pohon
Rabu, 23 Januari 2013
Ajaib
Awalnya emang, manusia-manusia ajaib ini keliatan diem, rajin, pokoknya alim pol. Jujur, sempet males sih sama mereka, keliatan anak-anak yang nganu nilai kayaknya. Tapi mungkin bener kata orang-orang kalo nggak boleh nge judge buku dari covernya aja, soalnya yaaaa manusia-manusia ajaib ini guilaaa. Ajaib beneran pokoknya. Emang pinter sih, tapi kalo udah mbanyol nggak nguati.
Selain sindikat sepatu dan karet, akhir-akhir ini mereka sering ngelakuin hal ajaib baru. Apakah ituuuu? eng ing engggg jadi gini, kalo istilahnya mereka sih "blablabla's style". blablabla disitu silahkan isi dengan nama orang. Jadi, awalnya mereka yang cowok-cowok niruin gayanya Bhisma kalo ga salah. Bhisma itu bajunya nggak rapi, ujung baju yang satu dikeluarin. Emang sih kalo yang ngelakuin orang satu nggak lucu, tapi kalo yang ngelakuin banyak anak, jadinya bikin ngakak. Bahkan, ketua kelas nya pun ikut-ikutan Bhisma's style =)). Habis bhisma yang ditiruin lanjut ke Arsyad, terus yang paling mlete adalah hari ini mereka niruin gayannya pak PB. Jadi, ceritanya pak pb habis sholat dhuhur, terus pak pb masuk kelas, tapi dasinya dimasukin ke baju (mudeng nggak sih? ._.) aku nggak ngerti sih yang mulai siapa, tapi pas aku noleh ke belakang, semua udah kayak gitu duafuuuuu =))))))). Lama-lama pak pb sadar, terus dia tambah nyeletuk yang bikin tambah ngakak pindoh.
Gak paham kenapa sukanya aneh-aneh. Tapi, justru itu yang bikin lovely. Tambah sayang pooool sama anak-anak ini <3 .="" day="" div="" for="" guritawan="" made="" my="" thanks="">3>
Selasa, 01 Januari 2013
DUM..JEDUM..DUAR..
Bunyi itu begitu keras,
Memekakkan telinga,
Membuat jantungmu begitu copot,
Bahkan terkadang bahumu bergoncang kaena keterkejutanmu,
Harusnya kamu lari
Dia juga harus lari
Mereka apalagi...
Cepat-cepat menyingkirlah!
Barangkali saja itu bom
Eh-eh jangan mendekat!
Cepat lari, jangan malah berkerumun disini
Kamu malah tertawa-tawa
Jangan tertawa, nanti gigimu malah terpelanting kena bom
Eh-eh mengapa bom nya berwarna-warni?
Seperti bunga saja, atau lampu?
Cepat jelaskan itu apa?
Jangan hanya tertawa-tawa
Jelaskan padaku sebelum aku mati penasaran!
Bunyi itu begitu keras,
Memekakkan telinga,
Membuat jantungmu begitu copot,
Bahkan terkadang bahumu bergoncang kaena keterkejutanmu,
Harusnya kamu lari
Dia juga harus lari
Mereka apalagi...
Cepat-cepat menyingkirlah!
Barangkali saja itu bom
Eh-eh jangan mendekat!
Cepat lari, jangan malah berkerumun disini
Kamu malah tertawa-tawa
Jangan tertawa, nanti gigimu malah terpelanting kena bom
Eh-eh mengapa bom nya berwarna-warni?
Seperti bunga saja, atau lampu?
Cepat jelaskan itu apa?
Jangan hanya tertawa-tawa
Jelaskan padaku sebelum aku mati penasaran!
Langganan:
Postingan (Atom)